Pendahuluan
Adanya
lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK diharapkan dapat mengurangi kasus
korupsi di Indonesia. Ironisnya adalah kasus korupsi sepertinya tidak ada
habisnya dilakukan dengan cara sistematis dan canggih dengan menggunakan
teknologi untuk memodifikasi, mencuri, merusak, atau menggelapkan data entitas.
Hal ini dibuktikan dengan strategi yang telah dirumuskan oleh KPK yang
merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan korupsi sepertinya belum mampu
menuntaskan permasalahan koprupsi yang sudah menggejala.
Sulitnya pemberantasan korupsi
di Indonesia mengingatkan pada suatu konsep yang disebut Capture Theory dari Amle O Krueger. Krueger (dalam Wiratmadja,
2010; 1) menyatakan bahwa segala sesuatu diatas kertas secara yuridis formal
adalah sah dan legal. Pada kenyataannya teori inilah yang banyak disalahgunakan
untuk memuluskan kepentingan beberapa pihak, sebagai contoh kasus Gayus yang
menyalahgunakan wewenang dan jabatannya.
Dihadapkan
pada korupsi yang melibatkan praktik-praktik sistemik dan melembaga seperti
yang dijelaskan oleh capture theory
membuat upaya dan strategi pemberantasan
korupsi menjadi semakin rumit. Akuntansi
forensik sebagai ilmu dan sebagai profesi merupakan alat yang tepat dalam membongkar indikasi adanya korupsi
atau tindak penyelewengan lainnya di sebuah perusahaan atau instansi negara.
Korupsi
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi
adalah:
“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”.
Akuntansi Forensik
Akuntansi forensik adalah praktik khusus bidang akuntansi yang menggambarkan
keterlibatan yang dihasilkan dari perselisihan aktual atau yang diantisipasi
atau litigasi. "Forensik" berarti "yang cocok untuk
digunakan dalam pengadilan hukum", dan itu adalah untuk yang standar dan
potensi hasil yang umumnya akuntan forensik harus bekerja. Akuntan forensik,
juga disebut sebagai auditor forensik atau auditor investigasi, seringkali
harus memberikan bukti ahli pada sidang akhirnya.[1]
Deteksi Korupsi dengan Fraud Triangle
Fraud
triangle adalah model yang
menjelaskan alasan orang melakukan fraud
termasuk korupsi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald R. Cressy dalam
disertasinya. Cressy (dalam Wiratmadja, 2010; 20) menjelaskan penelitian diarahkan
untuk mengetahui penyebab dari orang-orang memutuskan untuk melakukan
pelanggaran “trust violator”.
Penelitiannya menggunakan 200 orang responden yang terdiri dari orang-orang
yang secara terbukti telah diputuskan oleh pengadilan sebagai pelaku fraud. Hasil penelitiannya adalah, orang
melakukan fraud didorong oleh tiga hal yang disebutnya sebagai fraud
triangle yaitu pressure, perceived
opportunity dan rationalitation.
Pressure
Cressy dalam disertasinya membahas bahwa seseorang
melakukan penggelapan karena didorong oleh kebutuhan akan uang yang mendesak
dan tidak mungkin diceritakan kepada orang lain. Himpitan yang mendesak dan
perasaan bahwa tidak ada orang yang dapat membantu dalam temuan Cressy dikenal
dengan perceived non-shareble need.
Situasi yang memunculkan perceived non-shareble need dalam penelitian Cressy dikelompokan
menjadi enam yaitu violation of ascribed
obligation, problem resultig from personal failure, business reversals, pysical
isolation, status gaining dan
employer-emloyee relation. Ini berarti perceived
non-shareble need tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan hidup yang mendesak
akan tetapi lebih pada kebutuhan untuk memperoleh status lebih tinggi atau
mempertahankan status yang sudah ada.
Opportunity
General information dan technical skills adalah dua dimensi utama yang dipandang oleh
pelaku fraud sebagai peluang. Untuk
melakukan fraud seseorang tidak cukup
hanya dengan dorongan tekanan kebutuhan. Informasi yang dimiliki membentuk
keyakinan bahwa karena kedudukan dan kepercayaan institusi yang melekat pada
dirinya maka fraud yang dilakukannya
tidak akan diketahui. Untuk melakukan fraud
atau korupsi komponen berikutnya dari opportunity
adalah kemampuan atau keahlian untuk melakukannya. Tanpa kemampuan yang memadai
menyembunyikan fraud atau korupsi
tentu tidak mungkin untuk dilakukan apalagi untuk kasus-kasus korupsi yang
bersifat sistemik.
Peluang juga
biasanya
muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian inernal di organisasi tersebut.
Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau kelompok yang
sebelumnya tidak memiliki motif untk melakukan fraud.
Rationalization
Sisi segitiga fraud yang ketiga adalah rationalitation. Orang sebelum memutuskan tindakan fraud sebagai solusi dari permasalahan
yang menghimpitnya tentu terlebih dahulu akan mencari alasan pembenar atas
tindakannya. Alasan pembenar merupakan motivator yang penting dalam pengambilan
keputusan utuk melakukan tindakan ilegal. Alasan-alasan seperti saya akan
melakukan korupsi karena orang lain juga melakukan, saya pantas melakukan
korupsi karena ini adalah hak saya karena proyek ini ada atas perjuangan saya
adalah beberapa alasan yang cukup sering dilontarkan oleh koruptor.
Peran Akuntansi Forensik dalam Pengungkapan Kasus
Korupsi di Indonesia
Akuntan bertugas mencatat transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai dan melindungi perusahaan dari
kerugian. Auditor bertugas memastikan kalau laporan yang dibuat
oleh akuntan bebas
dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan dan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Catatan akuntansi dan hasil audit
yang sempurna tidak berarti transaksi yang dicatat bebas dari penipuan karena
pelaku penipuan sesungguhnya mencoba untuk menipu auditor dengan cara
menghilangkan bukti audit yang tampaknya sah. Menjadi tugas akuntan forensik
untuk mendeteksi bukti penipuan tersebut agar korupsi dapat dideteksi. Inilah mindset
yang membedakan akuntansi, audit konvensional dan akuntansi forensik.
Dalam mencegah korupsi, strategi
preventif yang bisa dilakukan akuntan forensik adalah dengan cara pengawasan
pada pejabat yang mempunyai potensi untuk melakukan hypercorruption. Dalam hal ini akuntan forensik perlu menerapkan watchdog monitoring. Watchdog monitoring mengharuskan
pengawasan dilakukan secara terfokous dan personal. Pengawasan terhadap mereka
yang memiliki kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan
investigasi terhadap bagaimana sebuah kekuasaan tersebut dijalankan. Kemudian
tidak lupa pengawasan memfokuskan pada area-area yang memeiliki risiko
tinggi terjadinya fraud seperti
transaski kas, rekonsiliasi bank, proses pengadaan, penjualan, dll.
Ketika motivasi untuk melakukan
korupsi sudah diketahui kemudian strategi preventif sudah berjalan dengan baik,
maka deteksi korupsi akan dapat dengan cepat diketahui dalam waktu yang singkat
dan akurat, inilah yang disebut dengan strategi detektif. Deteksi detektif
dapat mempercepat pengambilan tindak lanjut dengan cepat sehingga akan
menghindarkan kerugian lebih besar yang mungkin timbul. Pada tahap ini, akuntan
forensik menerapkan prosedur-prosedur investigasi unik yang memadukan kemampuan
investigasi bukti keuangan dengan muatan transaksinya dengan investigasi
tindakan pidana dengan muatan untuk mengobservasi niat atau modus operandi dari
pelakunya.
Kemajuan teknologi yang semakin
berkembang mengharuskan akuntan forensik memiliki keahlian Forensic Digital (FD) dalam mencegah dan mendeteksi akses yang
tidak terotorisasi terhadap informasi rahasia entitas. Menurut DR. Wagimin
Sanjaja, (Majalah CPA Indonesia Edisi II 5/2015 halaman 46-47), FD merupakan
perangkat yang sangat efektif dan berguna bagi penegak hukum maupun praktisi
bisnis dalam mencegah dan mendeteksi akses yang tidak terotorisasi terhadap
informasi rahasia entitas. Terdapat 6 Prinsip Penggunaan FD untuk
memaksimalkan hasil dari FD yaitu:
1.
Perangkat FD hendaknya tepat dan
akurat dalam melaporkan informasi tentang tanggal dan waktu.
2.
Terkait syarat 1, FD hendaknya
kompeten dalam menangani log files tersebut.
3.
Kualitas dari bukti yang dihasilkan
hendaknya berkekuatan hukum untuk bukti di pengadilan.
4.
Perangkat FD yang baik harus didapat
memulihkan kembali file yang telah dihapus.
5.
FD hendaknya memiliki fungsi
pencarian untuk memudahkan pencarian file tertentu.
6.
Perangkat FD harus mampu memulihkan
seperti sedia kala history browser internet yang dihapus.
Perangkat TI
yang banyak digunakan untuk kebutuhan FD:
1.
EnCase: teknologi FD yang paling
banyak dipakai dan output dari EnCase berkekuatan hukum (aliran Anglo Saxon)
meliputi penemuan data, analisis data dan pelaporan data.
2.
FTK (Forensic ToolKit): teknologi FD
yang memberikan kemudahan bagi pengguna karena adanya fasilitas wizard yang
mampu memandu pengguna secara bertahap dalam mencari data, menyaring,
memodifikasi, atau mengatur data yang akan diperiksa serta pelaporan.
3.
ProDiscover: teknologi yang mampu
mengambli data dari disc termasuk data yang disembunyikan pada perangkat keras
yang terproteksi, baik fisik maupun network.
Daftar Pustaka
Crumbley,
D. Larry;
Lester E. Heitger, G. Stevenson Smith (2005-08-05). Forensic
and Investigative Accounting. CCH
Group.ISBN 0808013653
Sandjaja, Wagimin. Majalah CPA Indonesia Edisi II
5/2015 halaman 46-47
Undang-Undang No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Wiratmaja, Nyoman. 2010. Akuntansi
Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar